MEPNEWS.ID-Senyumnya tenang, tutur katanya lembut, namun langkah hidupnya penuh jejak perjuangan. Dialah Sugiyanto, S.E., M.Si., dosen STAIMAS Wonogiri yang tak hanya mengajar teori di ruang kuliah, tapi juga menghadirkan pelajaran hidup dari jalan panjang penuh liku.
Lahir di Wonogiri pada 22 April 1979, pria 46 tahun itu tumbuh dalam kesederhanaan. Sejak kecil, ia diasuh sang kakek—seorang mudin desa yang bertugas menikahkan dan mengurus jenazah. Dari sosok kakeknya, Sugiyanto kecil belajar arti pengabdian tanpa pamrih. Ia bahkan sempat berjanji akan meneruskan jejak sang kakek, hingga sebuah pengalaman mengubah segalanya.
Suatu hari, ia diajak sang kakek membantu mengurus jenazah korban kecelakaan. “Saya melihat langsung potongan tubuh manusia yang harus disatukan kembali. Sejak itu saya takut… gak berani lagi,” kenangnya lirih. Sejak saat itu pula, cita-cita menjadi mudin ia tinggalkan. Ia memilih jalan lain: menjadi pendidik.
Namun, jalan menuju dunia pendidikan tidak semulus bayangan. Saat teman-teman sebayanya bermain dan berlarian mengejar layang-layang, Sugiyanto kecil justru menggembala kambing, mencari rumput, atau mengumpulkan kayu bakar. “Hati saya sempat protes, kenapa saya gak punya waktu untuk bahagia seperti yang lain,” ujarnya, mengenang masa kecilnya di lembah sunyi Wonogiri bagian selatan.
Tapi kini ia bersyukur. Dari kerasnya hidup itu, ia ditempa menjadi pribadi tangguh. “Saya baru sadar, justru di situlah Tuhan mendidik saya,” katanya sambil tersenyum.
Perjalanan kuliah pun tak kalah berat. Di Surakarta, ia harus bekerja pagi hingga sore, lalu kuliah malam hari. Pernah suatu kali ia tak diizinkan ikut ujian karena belum melunasi biaya kuliah. Hingga seorang teman menalangi tanpa diminta. “Itulah pertolongan Tuhan lewat manusia,” ucapnya pelan.
Meski dulu sempat bercita-cita menjadi guru Bahasa Inggris, takdir membawanya ke dunia ekonomi dan pendidikan tinggi. Setelah menamatkan studi di Universitas Tunas Pembangunan dan melanjutkan magister di Universitas Islam Batik, ia dipercaya menjadi dosen. Profesi yang dulu hanya “rencana cadangan” kini menjadi ruang utama menebar manfaat.
“Bagi saya, sukses itu bukan soal uang. Tapi seberapa besar manfaat yang kita beri,” ujar ayah dua anak yang juga dipercaya sebagai Ketua Tagana Siaga Bencana Kabupaten Wonogiri ini.
Ia pun punya filosofi hidup yang membumi: “Uang yang kita simpan akan habis, tapi uang yang kita sedekahkan, itu yang kita bawa mati.”
Kenangan masa SMA pun masih menempel kuat di ingatannya. Kala itu, ia tak bisa ikut study tour ke Bali karena tak mampu membayar. Bertahun-tahun kemudian, ia akhirnya menginjakkan kaki di Pulau Dewata — bukan sebagai siswa, tapi sebagai ayah. “Saya ke sana bersama istri dan anak. Ketemu guru saya, dan beliau kaget. Murid yang dulu gak bisa ikut wisata, sekarang bisa ajak keluarga ke Bali,” kenangnya haru.
Kini, di sela aktivitas mengajar dan mengelola usaha wisata Pantai Gading Purba, Sugiyanto tengah menyiapkan impian baru: mendirikan lembaga pendidikan atau pesantren. Ia ingin meneruskan semangat pengabdian sang kakek dalam bentuk berbeda — lebih luas, lebih berdampak.
Kepada generasi muda, pesan Sugiyanto sederhana namun menggetarkan. “Jangan pernah punya mimpi kecil. Karena di hadapan Tuhan, semua sama. Kun fayakun bisa terjadi kapan saja.”
Dan jika diberi kesempatan memutar waktu? Ia hanya ingin memperkuat diri lebih dulu sebelum banyak berkorban untuk orang lain. “Ketika kita kuat, sosial kita juga akan kuat,” ujarnya bijak.
Dari lembah sunyi masa kecil hingga ruang kelas yang penuh inspirasi, Sugiyanto membuktikan: hidup bukan soal dari mana kita mulai, tapi seberapa besar manfaat yang kita tinggalkan.
(Melysa Linda Sary, Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam STAIMAS Wonogiri)



POST A COMMENT.