Oleh: Yoni Astuti
mepnews.id – Bromo, gunung para dewa, telah menjadi rumah kedua bagiku. Dalam sebulan, aku nyaris satu dua kali berada di sana untuk mengantar wisatawan. Dari situ, aku mengenal banyak tradisi dan budaya masyarakat suku Tengger yang menarik dan sangat unik.
Salah satunya Yadnya Karo/Pujan Karo/Riaya Karo. Ketertarikanku pada Yadnya Karo bermula pada 24 November 2002. Saat itu aku diundang Mas Boncek, sopir jeep di Bromo, untuk menghadiri acara tari Sodoran di Desa Jetak tempat tinggalnya.
Ketika melihat tari Sodoran, mataku serasa tak berkedip, ingin tau makna setiap gerakannya. Tari Sodoran adalah bagian dari upacara adat Yadnya Karo. Aku tertarik untuk mengetahui rangkaian acara lainnya. Sampai-sampai, sepanjang acara, aku menginap di rumah Pak Karnyoto ayah Mas Boncek, agar tak ketinggalan semua rangkaiannya.
Saat Yadnya Karo di tahun-tahun berikutnya, kuusahakan datang bersama teman-teman pemandu wisata dan fotografer. Kami selalu menginap di rumah Pak Karnyoto. Kupergunakan kesempatan untuk menggali informasi tentang Yadnya Karo dari sesepuh suku Tengger dan masyarakat.
Ketika mengantarkan wisatawan pada 13 Juli 2024, aku mengunjungi rumah Pak Siswo Widagdo. Beliau sesepuh desa berusia 80 tahun dan pernah menjadi Kepala Desa Jetak dua periode pada 1990 hingga 2007. Kami berbincang di ruang makan yang ada pawon/tungku tradisional sambil minum kopi. Saya menyegarkan data yang beliau berikan sejak 2002.
Menurut Pak Siswo Widagdo, orang Tengger percaya bahwa nama Tengger berasal dari paduan dua suku kata terakhir dari nama nenek moyang mereka, yaitu Rara Anteng (Teng) dan Joko Seger (Ger). Rara Anteng dipercaya sebagai putri Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit. Jaka Seger putra dari seorang brahmana yang bertapa di dataran tinggi Tengger. Selain itu, orang Tengger menegaskan bahwa kata Tengger mengacu pada Tengering Budi Luhur (tanda keluhuran budi pekerti).
Dijelaskan pula, kepercayaan orang Tengger diawali dengan adanya keyakinan terhadap roh-roh halus (animisme) dan kepercayaan terhadap benda yang mempunyai kekuatan gaib (dinamisme). Maka, tempat-tempat yang mempunyai nilai religi itu sampai sekarang tetap dilestarikan.
Suku Tengger mempunyai banyak upacara adat yang kalenderis maupun non-kalenderis. Semua intinya untuk manusia dan lingkungannya.
Beberapa upacara kalenderis yang terjadi setiap tahun dengan waktu selalu sama menurut kalender Tengger, antara lain: pujan Karo/riaya Karo/yadnya Karo, pujan Kapat, pujan Kapitu, pujan Kawolu, pujan Kasanga, dan pujan Kasada, serta unan-unan/mayu bumi yang dilaksanakan setiap 8 tahun Wuku atau setiap 5 tahun Masehi.
Upacara non-kalenderis, antara lain: entas-entas, tugel kuncung/tugel gombak, walagara/pernikahan, tetesan mrajakani/khitan, barikan, mayu desa, dan upacara lain berkaitan dengan daur hidup—membangun rumah, pindah rumah, akan bepergian, peresmian jalan baru, dan beberapa lainnya.
Upacara Yadnya Karo
Yadnya Karo mirip Idul Firi dalam hal menjaga silaturahmi dengan saling berkunjung. Upacara adat ini dilaksanakan seluruh masyarakat Tengger, tetapi tata caranya di masing-masing desa tidak sama.
Karo artinya kedua. Dinamakan Yadnya Karo karena dilaksanakan di bulan kedua kalender Tengger, sejak tanggal 7 hingga 22.
Yadnya Karo yang kubahas di tulisan ini adalah yang dilaksanakan di tiga desa: Jetak, Wonotoro, dan Ngadisari. Ketiganya berada di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo.
Pada tanggal 16 bulan Karo di kalender Tengger, tiga desa itu melaksanakan acara sakral yang disebut tari Sodoran secara bergantian setiap tahun. Tiga desa itu memiliki Jimat Klontongan, yaitu warisan leluhur berupa pusaka suku Tengger. Pusaka ini disucikan setahun sekali, sehari sebelum tari Sodoran digelar.
Jimat klontongan berupa 8 buah sodor (bambu berbentuk panjang lurus sekitar 3 meter yang ujungnya diberi sabut kelapa), 4 buah tanduk kerbau, 2 buah tempat air, 1 kendi, 2 buah gayung, uang koin kuno yang sebagian berasal dari abad ke-13, uang kertas, dan benda lainnya.
Yadnya Karo, yang dilaksanakan sekitar 15 hari, diawali dengan ritual bernama Tekane Ping Pitu pada tanggal 7. Ritual itu mengundang roh leluhur untuk tinggal bersama keluarga. Upacara tersebut akan ditutup dengan ritual Mulihe Ping Pitu pada tanggal 22 saat roh leluhur kembali ke Nirwana. Selama masa itu, keluarga akan menyediakan pakaian, sabun, sampo, sikat gigi, dan pasta gigi untuk leluhur serta menyuguhi makanan dan minuman yang diganti setiap hari.
Beberapa rangkaian acara di antara Tekane Ping Pitu dan Mulihe Ping Pitu adalah tari Sodoran, tumpeng ageng/gede, sesanding, nyadran, ojung, dan lainnya.
Terakhir kali aku merayakan Yadnya Karo bersama keluarga Pak Karnyoto pada September 2019. Saat pandemi, aku tidak bisa datang. Ketika pariwisata mulai ramai pada pertengahan 2022, aku bisanya datang hanya bila mengantarkan wisatawan ke Bromo.
Tari Sodoran
Sehari sebelum tari Sodoran yang digelar 16 September 2019, aku sudah berada di rumah Pak Karnyoto di Desa Jetak. Sejak sore, baik anak-anak, ibu, dan ayah, berjalan menuju balai desa membawa takir kawung, yaitu tas yang terbuat dari janur. Takir kawung berisi juadah jagung, dodol, pipis (wajik), tetel ketan, madu mongso, dan lainnya.
Takir kawung dari dua desa yang tidak mendapatkan giliran melaksanakan tari Sodoran tidak dibawa perorangan, melainkan dikumpulkan di keranjang bambu dan diserahkan bersamaan ke balai desa tempat acara, karena rumahnya jauh.
Malamnya, aku membuat foto dan video kesibukan di balai desa. Para lelaki menyusun takir kawung dan meletakkan berjajar di atas daun pisang yang ditata di karpet balai desa, di sepanjang sisi kanan dan kiri. Di bawah daun pisang sudah diletakkan sesaji antara lain nasi jagung putih, kacang ucet, sate jerohan sapi, dan ikan asin. Selain mengatur takir kawung dan sesaji di bawah daun pisang, mereka juga menyiapkan sesaji yang dikhususkan saat menari tari Sodoran. Sesaji berjumlah 25 yang berlainan isinya dimasukkan dalam takir terbuat dari daun pisang, kemudian diletakkan dalam satu wadah/tempat terbuat dari rotan.
Pak Siswo Widagdo seringkali menjelaskan padaku, Yadnya Karo dilaksanakan untuk mengenang para leluhur dan mempererat persaudaraan. Sementara, tari Sodoran bertujuan memperingati Bapa Babu. Bapa artinya lanang atau lelaki dan Babu artinya wedok atau perempuan. Diyakini, Bapa dan Babu telah menjadi perantara turunnya benih suci dari Tuhan YME ke dunia ini berujud manusia, hewan, dan tanaman.
Paginya, aku berdiri di depan balai desa dengan memakai baju adat Tengger kebaya hitam, jarit, dan ikat pinggang kuning, menunggu tari Sodoran dimulai. Dengan memakai baju adat ini, aku merasa sepenuhnya menjadi bagian masyarakat suku Tengger. Aku juga melihat para lelaki sudah mengenakan pakaian adat Tengger—celana panjang hitam dililit sarung, beskap hitam, dan udeng.
Acara diawali dengan pertemuan tiga Kepala Desa di depan balai desa. Kepala desa dari desa yang menyelenggarakan dan desa yang tahun depan menyelenggarakan dijadikan Ratu. Kepala desa satunya menjadi Sesepuh.
Kedua Ratu diiringi Sesepuh dan perangkat desa serta beberapa lelaki dari ketiga desa berjalan memasuki ruangan balai desa. Beberapa lelaki juga mengiringi dengan membunyikan musik ketiplung, musik khas Tengger yang terdiri dari: terompet, kenong, kempul, gong, dan dua kendang.
Setelah kedua Ratu, Sesepuh, serta pengiring dan para lelaki memasuki ruangan balai desa dan duduk, maka dukun pandita Tengger dari ketiga desa melangitkan doa. Setelah berdoa dan memberkati perlengkapan tarian, tari Sodoran dimulai.
Acara dilaksanakan sekitar 5 jam. Yang menari para lelaki dewasa, remaja, dan anak-anak. Gerakan tarian menggambarkan manusia harus selalu lurus dalam berpikir, berbicara, dan berperilaku serta selalu ingat kepada Tuhan.
Tarian diawali dengan penari membawa tanduk, selanjutnya membawa sodor atau tanpa membawa apa pun. Tarian dilakukan 25 kali dan yang menari pun bergantian.
Sebelum menari, dibacakan doa sesuai masing-masing macam sesaji yang berjumlah 25 buah. Seperangkat gamelan ditabuh untuk mengiringi tarian dengan irama yang sama.
Setelah acara berjalan separuh, tibalah giliran kedua Ratu menari tanpa membawa apa pun. Setiap Ratu ditemani empat pengiring. Ratu memakai selempang coklat kemerahan dan ikat pinggang hijau. Setiap pengiring memakai selempang sewarna dengan ikat pinggang. Empat pengiring memakai warna berbeda: merah, putih, hitam, dan kuning.
Mereka menari diiringi suara gamelan dan tepuk tangan para lelaki yang ada di ruangan balai desa. Sebuah tungku kecil berbahan bakar buah jarak dinyalakan di pinggir area menari di dekat para lelaki yang duduk bersila. Aura sakralnya memenuhi ruangan dan hatiku.
Menjelang waktu kedua Ratu akan menari, terlihat di luar ruangan balai desa, para ibu berdatangan bersama anak-anaknya. Mereka mengenakan pakaian adat Tengger dan membawa rantang berisi makanan untuk para ayah. Mereka tertib menunggu saatnya masuk ke dalam
ruangan.
Setelah kedua Ratu dan pengiringnya usai menari, para ibu dan anak-anaknya memasuki ruangan untuk memberikan makanan kepada para ayah. Suasana menjadi riuh dan riang. Terlihat kebersamaan yang indah. Mereka saling memberikan makanan kepada orang yang duduk berdekatan. Aku yang sedang membuat foto dan video di luar jendela pun diberi.
Kebersamaan itu tidak sampai setengah jam. Setelah makan, para ibu dan anak-anaknya meninggalkan ruangan. Tari Sodoran kembali dilakukan hingga tarian ke-25.
Tari Sodoran telah selesai, para lelaki pulang membawa takir kawung. Jimat Klontongan dibawa ke kediaman Kepala Desa untuk dihitung dan diserahkan kepada Kepala Desa yang akan mendapat giliran melaksanakan tari Sodoran di bulan Karo tahun depan.
Tumpeng Ageng/Gede dan Sesanding
Malam harinya, dukun pandita Tengger desa Jetak memberkati Tumpeng Ageng/Gede, yaitu sesaji yang dikirim masyarakat di balai desa. Sesaji diletakkan di tampah bambu. Ada pisang, kue, nasi, telur asin, dan beberapa lainnya.
Setelah itu dukun pandita dan legen (asistennya) mendatangi setiap rumah untuk memberikan doa, memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi seluruh keluarga. Doa atau mantra dalam bahasa Jawa kuno dibaca di depan sesanding yang telah disiapkan setiap keluarga.
Sesanding adalah sesaji yang diletakkan di tempat tidur atau meja panjang. Sekelilingnya ditutup kain putih. Di permukaan ranjang atau meja dialasi tikar pandan dan daun pisang. Sesaji terdiri dari nasi tumpeng 22 buah, takir terbuat dari daun pisang berisi kue masing-masing 22 buah, petra atau boneka terbuat dari daun dan bunga untuk tempat leluhur juga berjumlah 22 buah. Selain itu ada pisang, ayam utuh yang diungkep, nasi golong, nasi lima warna, minuman botol seperti Fanta, bunga, dan beberapa lainnya.
Sesanding yang ada di setiap rumah di desa Jetak, Wonotoro, dan Ngadisari, diberkati oleh dukun pandita di desa masing-masing. Bila sesanding telah diberkati, keluarga itu telah siap menerima tamu yang berkunjung. Kegiatan ini disebut sanja (dibaca: sonjo), artinya mengunjungi.
Ada dua tempat yang disinggahi: ruang tamu dan ruang makan. Di ruang tamu, ada meja yang penuh dengan kue dan minuman. Di ruang makan, ada meja yang penuh dengan aneka masakan.
Ketika sanja, aku pertama-tama duduk di ruang tamu untuk menikmati sajian aneka kue dan minuman. Ada kue tradisional seperti jenang, madu mongso, kue kukus, juadah, dan lainnya. Juga ada kue modern seperti spiku, Beng-Beng, jelly, dan banyak lagi. Minuman yang disediakan adalah Coca-Cola, Sprite, Teh Botol, dan sejenisnya. Di sebelah botol diletakkan gelas sloki kaca. Aku paling suka makan madu mongso. Minumnya soft drink apa saja. Rasanya segar, seperti keluar dari kulkas, karena suhu dingin di Bromo.
Setelah menikmati kue dan minuman, saatnya aku menuju ruang makan. Di atas meja ditata berbagai macam masakan seperti sate, ayam goreng, empal daging sapi, serundeng, bakso, sambal goreng udang, dan lainnya. Sate ayam atau daging dibalut parutan kelapa, lalu dibakar. Rasanya sangat sedap. Di setiap sanja, sate inilah pilihanku.
Ketika sanja, tamu wajib makan. Itu karena tuan rumah ingin memberikan penghormatan kepada tamu yang datang. Aku pun begitu. Bila sanja, aku wajib makan kue dan masakan yang disuguhkan. Aku sih bahagia mendapatkan penghormatan ini. Tapi perutku pasti tidak akan sanggup. Pak Siswo Widagdo memberiku solusi agar bisa sanja ke banyak rumah dan perut aman. “Makan kue dan masakan sedikit saja. Yang penting sudah menikmati suguhan yang disediakan,” kata beliau.
Nyadran
Nyadran adalah nyekar mengunjungi punden dan makam yang dilakukan oleh seluruh masyarakat suku Tengger, dipimpin oleh dukun pandita. Menurut Pak Siswo Widagdo, tujuan nyadran untuk menghormati dan menunjukkan kasih serta bakti kepada leluhur.
Dengan mengenakan pakaian adat Tengger, warga di Desa Jetak mengunjungi punden di tengah desa untuk terlebih dahulu nyekar leluhur yang mendirikan desa. Di punden ada acara makan bersama. Makanan diletakkan di wadah terbuat dari pelepah pisang.
Setelah itu, masyarakat berkumpul di depan rumah Kepala Desa dan berjalan beriringan menuju makam dengan membawa bunga dan makanan. Di belakang barisan, beberapa orang membawa musik ketiplung dan membunyikannya, menambah riang suasana.
Setiba di makam dan setelah dukun pandita memimpin doa, masyarakat segera menabur bunga di makam keluarganya. Setelah itu, makan masakan yang dibawa dari rumah. Makanan yang dibawa tidak dimakan sendiri bersama keluarga, tetapi juga diberikan kepada orang yang duduk berdekatan.
Di sini terlihat adanya silahturahmi yang terjaga—baik dengan leluhur dan saudara yang telah meninggal, juga antar sesama manusia yang masih hidup.
Ojung
Di hari terakhir Yadnya Karo, setelah nyadran dan sebelum Mulihe Ping Pitu, digelar acara istimewa bernama Ojung. Ini adalah peragaan dua laki-laki yang bergantian memukulkan rotan diiringi tabuhan alat musik sederhana. Sabetan rotan ke punggung itu terlihat menyakitkan karena membuat kulit terkelupas dan berdarah. Namun, dua lelaki itu tidak merasa kesakitan ataupun marah, justru tertawa dengan riang. Aku melihat dari jauh saja, karena tidak tega.
Yadnya Karo di Mata Generasi Muda
Yadnya Karo sangatlah mulia. Masyarakat saling menabur kasih. Tidak saja pada sesama yang masih hidup, juga pada leluhur dan saudara yang telah meninggal. Meski ada orang Tengger yang berpindah agama karena menikah dengan orang beragama lain, keluarga itu tetap merayakan Yadnya Karo.
Usman, 39 tahun, menantu Pak Karnyoto, petani sayur dan pemilik kuda, mengatakan hatinya ayem tentrem karena kedatangan keluarga yang telah tiada. Ia juga senang bisa bertemu saudara yang tinggalnya jauh. Ia juga lebih mempererat pesaudaraan dengan tetangga, teman, dan saudara yang tinggal berdekatan.
Siantoro, 34 tahun, pemandu wisata dari Desa Wonotoro dan sekarang tinggal di Desa Sukapura, kini mualaf, mempunyai kebiasaan menceritakan kearifan lokal suku Tengger termasuk Yadnya Karo. Ia ingin wisatawan mendapatkan pengetahuan tidak hanya keindahan alam Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, tetapi juga kearifan lokal masyarakatnya.
Massayu Dhita Navisa, gadis Tengger berusia 19 tahun, yang bekerja sebagai resepsionis Hotel Jiwa Jawa dan tinggal di Desa Ngadirejo, selalu merindukan kebahagiaan berkumpul sanak keluarga dan teman ketika merayakan Yadnya Karo.
Menurut Pak Siswo Widagdo, kearifan lokal suku Tengger harus dipertahankan. Generasi muda telah dididik untuk melestarikannya. Pendidikannya dilakukan lewat keluarga, masyarakat, dan pelajaran agama Hindu Dharma di sekolah. Di dalam pelajaran agama Hindu Dharma, mereka tidak saja belajar tentang agama, tetapi juga tentang adat dan budaya suku Tengger.
Rangkaian Yadnya karo tahun 2024 ada di bulan Agustus. Tanggal 11, Tekane Ping Pitu. Tanggal 20, tari Sodoran di Desa Wonotoro. Tanggal 26, Mulihe Ping Pitu.
Beruntung aku menemani wisatawan ke Bromo pada 11-12 Agustus. Mereka kuajak ke rumah Pak Karnyoto agar mengetahui kehidupan masyarakat lokal dan melihat sesaji di meja kecil untuk leluhur serta menceritakan makna yang terkandung di dalamnya.
- Penulis adalah pemandu wisata
- Tulisan ini salah satu finalis kompetisi esai Inkubator Literasi Pustaka Nasional (ILPN) 2024 dengan tema ‘Ragam Pesona Jawa Timur’