Hampers Lebaran Sebagai Simbol Status Sosial

mepnews.id – Sudah dapat kiriman hampers untuk Idul Fitri? Atau, sudah kirim berapa hampers untuk keluarga, kerabat, kolega, dan lainnya?

Moordiati SS MHum, dosen ilmu sejarah dari Universitas Airlangga, menjelaskan budaya berbagi bingkisan sudah ada sejak zaman kolonialisme. Namun, tentu terdapat berbagai perubahan dari sisi istilah, bentuk, dan makna yang terkandung di dalamnya.

Moordiati

Pada zaman kolonialisme Belanda, budaya berbagi bingkisan hanya melibatkan kalangan tertentu. Kala itu, ada ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Hanya orang Belanda dan kaum ningrat yang bisa bertukar bingkisan.

Budaya ini tidak populer pada zaman pendudukan Jepang. Rakyat dipaksa kerja rodi. Fokus rakyat sehari-hari hanyalah melawan kesulitan kehidupan.

Setelah Indonesia merdeka, pada masa pemerintahan Soekarno, berbagi bingkisan juga belum begitu populer di kalangan masyarakat.

Tahun 1980-an, masyarakat mulai melakukan budaya tersebut dengan istilah berbagi parsel. Pada saat itu, parsel berisi makanan khas lebaran.

“Awalnya makanan, tetapi kemudian isi parsel berubah seiring perkembangan zaman. Ada yang isi pakaian, barang pecah belah seperti cangkir, dan bunga,” terang Moordiati.

Pada tahun 2000-an, budaya berbagi parsel semakin populer di berbagai kalangan masyarakat. Istilahnya mulai bergeser menjadi hampers. Pelaku usaha menjadikan budaya hampers ini sebagai produk jual beli yang telah dikemas dalam sebuah bingkisan.

Kepopuleran hampers menyebabkan penyalahgunaan di tengah masyarakat. Pada tahun 2005, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerapkan peraturan bagi pejabat dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk tidak menerima hampers lebaran. Hal tersebut berkaitan dengan gratifikasi yang seringkali terjadi melalui media hampers. Peraturan tersebut masih berlaku sesuai Surat Edaran (SE) KPK Nomor 1636IGTF.00.02/01/03/2024 mengenai Pencegahan dan Pengendalian Gratifikasi di Hari Raya.

Moordiati menjelaskan, berbagi hampers pada mulanya merupakan bentuk ucapan terima kasih dan balas budi kepada penerima. Namun, pada perkembangannya, makna hampers berubah menjadi wujud apresiasi dan penghargaan kepada orang lain, terutama selama perayaan-perayaan agama atau acara sosial. Makna tersebut menjadi tonggak awal budaya berbagi hamper saat Lebaran.

Meski demikian, makna hampers berkembang menjadi simbol yang kompleks dalam masyarakat modern. Menurut Moordiati, itu terjadi seiring perubahan budaya dan nilai-nilai sosial.

Kini, penggunaan hampers seringkali menjadi penanda status sosial bagi pemberi maupun penerima. Pemberian hampers mewah atau eksklusif dapat menjadi cara untuk menunjukkan status atau kekayaan. Sementara itu, penerima hampers dapat menganggapnya sebagai pengakuan atas kedudukan sosial dalam masyarakat.

“Sekarang hampers dimaknai sebagai status sosial. Semakin tinggi nilai hampers yang diberi atau diterima, bisa menjadi penanda tingginya status sosial,” ungkapnya.

Dengan demikian, hamper tidak hanya menjadi simbol kedermawanan dan rasa terima kasih, melainkan mencerminkan dinamika kompleks dari struktur sosial dan budaya dalam masyarakat. Praktik memberikan dan menerima hampers telah menjadi bagian dari ritual sosial dan perayaan, yang tidak hanya melibatkan pertukaran materi, tetapi juga melibatkan permainan status dan pengakuan dalam dinamika sosial yang lebih luas.(*)

Facebook Comments

Comments are closed.