mepnews.id – Menjalani bulan Ramadhan sambil belajar di negeri orang menjadi tantangan tersendiri karena kultur dan suasana yang berbeda. Thohawi Elziyed Purnama drh MSi, dosen Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Ilmu Kesehatan, Kedokteran, dan Ilmu Alam (FIKKIA) Universitas Airlangga (Unair) Banyuwangi, merasakan hal itu saat berkuliah di Turki.
Thohawi sedang mengambil studi doktoral di Departemen Zoologi, Institut Sains dan Teknologi, Zooloji Anabilim Dalı, Fen Bilimleri Enstitüsü, Eskişehir Osmangazi Üniversitesi. Saat Ramadhan 2024 ini, ia merasakan perbedaan besar antara kultur Islam di Indonesia dan kultur Islam di Turki.
Ia mengungkapkan, suasana Ramadan 2024 di Turki diselimuti musim dingin dengan suhu -9 hingga 7°C, yang jauh lebih dingin dibanding di Banyuwangi. Untungnya, berpuasa antara waktu sahur menjelang 05.00 dan waktu berbuka pukul 20.00 menjadi tak terasa. “Jika Ramadhan jatuh pada musim panas, durasi berpuasanya akan lebih lama,” ungkapnya.
Saat mau tarawih, Thohawi tetap mencari masjid mana yang paling efektif. Di Turki, masjid hanya ramai oleh jamaah pria karena jamaah wanita sholat di rumah. Bedanya, sekularisme membuat suasana riuh tadarus dan ngabuburit tidak tampak di Turki. Bahkan, ia melihat biasa saja orang makan minum siang hari dalam keramaian.
“Tantangan utama adalah perbedaan jenis kuliner untuk makan berbuka ataupun sahur. Yang jelas, saya harus menyesuaikan kondisi selama puasa. Sahur dengan roti dan keju mungkin sangat cukup bila sudah beradaptasi dengan baik,” katanya.
Dalam bidang pendidikan, ia mengatakan Turki menganut European Credit Accumulation and Transfer System dan European Higher Education Area (Bologna Process). Kurikulum itu bisa mempertajam kemampuan mahasiswa sesuai minat program studi, bebas magang dan bekerja dalam industri. Mahasiswanya juga bebas melanjutkan studi dengan konversi mata kuliah melalui program Erasmus. Mahasiswa dapat memilih tugas akhir berupa projek sosial-industri atau tesis.
Selama Ramadhan, aktivitas perkuliahan lebih fleksibel karena dapat dilakukan kapanpun jika ada waktu luang tanpa sistem penjadwalan. Perbedaan hanya pada jam perkuliahan aktif mulai pukul 10.00 hingga 17.00.
“Kalau tidak kuat, boleh ditinggal tidur atau nonton film. Kebetulan pembimbing saya menyediakan ruangan yang memang khusus untuk bekerja sekaligus istirahat. Jadi, kalau tidak kuat, jangan dipaksakan belajar,” tuturnya.
Secara pribadi, Ramadan menurutnya identik dengan kultur kekeluargaan dan kebersamaan keluarga. Walaupun harus jauh dari keluarga, Thohawi tak bersedih hati. Ia bisa melepas rindu lewat video call dan tak melewatkan liburan musim panas dengan pulang kampung.(*)