mepnews.id – Kasus bullying, utamanya pada remaja, sangat banyak terjadi. Namun, layaknya gunung es, tidak banyak kasus yang mendapat atensi dari masyarakat luas. Kecuali jika sudah menyebabkan terenggutnya nyawa korban. Kasus bullying terhadap siswa SMP hingga kehilangan nyawa baru-baru ini menambah daftar panjang kasus bullying di Indonesia.
Lantas, apa penyebab remaja memiliki dorongan melakukan bullying? Tiara Diah Sosialita MPsi Psikolog, dosen Departemen Psikologi Universitas Airlangga, mengungkap beberapa penyebab.
Secara psikologis, bullying dapat dipicu sikap-sikap negatif seperti perasaan iri, dendam, dan permusuhan antar remaja. Dari sisi pelaku, biasanya bullying dilakukan karena kepercayaan diri mereka cenderung rendah. Bullying menjadi sarana pelaku untuk mencari perhatian orang-orang di sekitarnya. “Asumsi mereka, dengan mem-bully orang lain maka mereka akan merasa puas, lebih kuat, serta menjadi lebih dominan,” jelasnya.
Pengaruh negatif media juga turut menjadi penyebab tindakan bullying remaja. Berbagai tindakan kekerasan di televisi atau internet dapat menjadi inspirasi bagi remaja untuk melakukan tindakan kekerasan bahkan tanpa alasan jelas sekalipun.
Guna mencegah perilaku bullying pada remaja, Tiara menekankan pentingnya mengetahui bentuk-bentuk bullying itu sendiri. Pada remaja, umumnya bullying dapat dilakukan dalam bentuk verbal (mencemooh, membentak, mencela), fisik (menendang, memukul, meludahi), relasional (mengabaikan, mengucilkan), serta dalam bentuk cyberbullying.
“Kalau sudah mengenal bentuk-bentuk bullying, remaja yang merasa pernah atau sedang melakukan bullying maka perlu berhenti. Sebaliknya, jika seseorang menyadari bahwa ia korban bully maka ia perlu melakukan langkah-langkah untuk tidak membiarkan tindakan bully itu terus,” kata Tiara.
Pada korban bullying, Tiara menyampaikan pentingnya menyikapi tindakan bullying dengan percaya diri dan menghadapinya dengan kepala tegak. “Ingat, yang melakukan tindakan tercela adalah pem-bully, bukan korban. Jadi, yang harusnya merasa bersalah adalah si pem-bully,” ujarnya.
Korban bullying, sambung Tiara, juga perlu mencari bantuan kepada orang-orang yang dapat ia percaya, antara lain orang tua, saudara, guru, atau konselor. Selain itu, korban dapat menyimpan bukti-bukti tindakan bullying agar dapat ia laporkan kepada pihak berwajib.
Jika para remaja menyaksikan tindakan bullying, mereka dapat melakukan usaha yang bisa mereka lakukan seperti melerai, mendamaikan, atau mencari bantuan kepada guru maupun pihak berwenang. “Bullying itu bisa tumbuh subur karena orang-orang di sekitar remaja yang menjadi korban bullying itu diam aja,” terangnya.
Orang tua juga diharapkan waspada terhadap tindakan bullying pada remaja. Tindakan ini dapat terjadi kapan saja, di mana saja, pada siapa saja, dan oleh siapa saja. Beberapa ciri yang dapat menjadi indikasi tindakan bullying secara fisik antara lain memar, luka, patah tulang. Ciri secara perilaku antara lain tertutup, sulit berbaur, self-harm. Ciri secara mental antara lain emosi tak terkontrol hingga gangguan komunikasi.
Orang tua dapat meminta bantuan sekolah apabila anaknya terindikasi menjadi korban bullying. Mengingat dampak bullying sangat besar terhadap psikis, orang tua juga dapat melibatkan profesional seperti konselor atau psikolog jika terdapat trauma pada korban. “Jangan membiarkan bullying berlarut-larut sehingga remaja berkemungkinan melampiaskannya pada orang lain,” kata Tiara. (*)