Oleh: Isdariana Agustin
mepnews.id – Banyuwangi adalah kabupaten paling ujung dan terluas di Jawa Timur sekaligus di Pulau Jawa. Dengan wilayah 5.782,50 km2 di kawasan Tapal Kuda, Kabupaten Banyuwangi berbatasan dengan Kabupaten Situbondo di utara, Selat Bali di timur, Samudra Hindia di selatan, serta dengan Kabupaten Jember dan Bondowoso di barat. Dalam lagu Umbul-umbul Blambangan, perbatasan geografisnya dijelaskan lor lan kidul alas angker (utara dan selatan ada hutan angker yakni Hutan Baluran dan Alas Purwo) kulon gunung (barat ada gunung) wetan segoro (timur ada lautan).
Banyak sebutan yang disematkan untuk Banyuwangi. Yang sering didengar adalah ‘Santet of Java’ karena rumor bertebaran tentang banyaknya dukun santet di Banyuwangi. Apa lagi ada peristiwa memilukan ketika 100 orang lebih dibunuh secara misterius karena dituduh memiliki ilmu santet. Peristiwa ini dikenal sebagai ‘Tragedi Santet’ 1998.
Ketika saya melancong atau mencari peruntungan ke kota lain lalu memperkenalkan diri sebagai warga Banyuwangi, maka sambutan yang saya dapat berupa tatapan menyidik karena menganggap orang Banyuwangi berbahaya. Ya, hanya karena rumor lantas mereka memicingkan mata ke arah kami. Namun, dengan berbagai kegiatan dan terus menampilkan keunggulan destinasi pariwisata, kini Banyuwangi disebut sebagai ‘Sun Rise of Java’.
Salah satu keunikan Banyuwangi adalah penduduk yang multikultural terdiri dari Suku Jawa, Madura dan Using. Suku asli Banyuwangi yaitu suku Using mendominasi sebagian besar wilayah di Banyuwangi, tersebar di 24 kecamatan khususnya di Kemiren, Bakungan, Macanputih, Aliyan dan lainnya.
Banyuwangi juga memiliki segudang kesenian, budaya, tradisi yang unik dan menarik untuk dilestarikan. Kesenian yang sering digunakan untuk penyambutan kedatangan tamu dalam acara-acara resmi adalah seni tari Gandrung. Bahkan Gandrung digunakan sebagai maskot Kabupaten Banyuwangi.
Banyuwangi juga memiliki seni musik tradisional yang sangat khas, yaitu kendang kempul. Para seniman kendang kempul sangat produktif dalam menciptakan lagu. Perpaduan kendang, angklung, gamelan, kempling, seruling dan lainnya, dapat menciptakan keindahan suara instrumen.
Tradisi masyarakat juga memperkaya budaya Banyuwangi. Tiap daerah memiliki tradisi secara turun-temurun diwariskan dan dilestarikan hingga saat ini. Antara lain kebo keboan, pethik laut, mepe kasur, dan lain-lain. Tradisi-tradisi tersebut ditujukan sebagian besar untuk keselamatan dan kesejahteraan warga.
Salah satu tradisi turun-temurun yang mulai terkikis oleh dampak globalisasi adalah Semoyo Putu. Tradisi asli Suku Using ini dari kata ‘semoyo’ yang berarti ‘janji’ dan ‘putu’ berarti ‘cucu’. Tradisi ini dilakukan guna melebur janji-janji yang diucapkan orang tua kepada cucunya yang tidak ditepati.
Pak Sanawi, sesepuh Using yang ahli tentang acara ini, mengungkapkan waktu pelaksanaan tradisi ini ialah ketika seluruh anak (anak dari kakek dan nenek) sudah berkeluarga.
Urutan acara diawali dengan sungkeman. Orang tua (kakek dan nenek) duduk bersisihan. Lalu, keduanya memanjatkan doa harapan terbaik untuk anak cucu keturunannya serta permintaan maaf kepada cucu jika ada janji yang diucap namun belum diwujudkan. Begitu pula sebaliknya, permintaan maaf dari anak cucu keturunannya jika ada perbuatan dan perkataan yang menyakiti perasaan orang tua.
Dilanjutkan dengan ritual Semoyo. Acara dipimpin seorang dalang dengan memanjatkan doa terlebih dahulu yang ditujukan kepada anak, putu, buyut, canggah, krepek, wareng, teken merang, gantung sewur, udheg-udheg, dan petarangan amoh. Doa untuk semua keturunan mulai anak sampai garis-garis keturunan berikutnya yang mungkin sudah tidak bisa disebutkan.
- Anak dari istilah enak seng enak. Enak atau tidak enak, baik atau tidak baiknya keturunan yang diberikan Yang Maha Kuasa, kita tetap harus ihlas menerima.
- Putu (cucu) istilah dari abote koyo watu. Artinya rasa sayang kakek dan nenek seberat batu. Sayange durung tentu. Sebaliknya, rasa sayang cucu ke nenek dan kakek belum tentu sama beratnya dengan batu.
- Buyut diistilahkan ketika usia berkisar 75 tahun. Bisa dipastikan, tulang kita sebagai penyangga sudah berkurang. Kurang mampu memegang barang lebih berat. Tangan bisa bergetar, yang oleh warga Using biasa disebut merguyuh /buyuten.
- Canggah dari istilah kecunggah ta osing? Sampai apa tidak hingga usia 100 tahun?
- Krepek istilah dari keadaan hang sepek. Artinya, keturunan sudah banyak. Bertambah tahun, anggota keluarga semakin bertambah. Rumah A sudah dimiliki. Rumah B sudah ditempati. Rumah C sudah berpenghuni. Di sana-sini sudah penuh. Bingung mau bermukim di mana. Terpaksa berdesak-desakkan.
- Wareng dari seng enget. Sudah linglung. Tidak ingat sedang berbicara dengan siapa. “Kamu anak keturunan yang ke berapa?” Karena masa itu berkisar pada usia 120 tahun, jadi sudah pikun.
- Teken merang istilah ini didapat karena melihat iris mata yang semakin menciut seiring bertambahnya usia. Jika usia sudah kisaran 150 tahun, maka iris (merang) mata semakin mengecil .
- Gantung sewur atau gayung digantung. Jika manusia sampai usia 170 tahun, maka yang dilakukan cuma geleng-geleng seperti gayung yang digantung ketika tersenggol.
- Udheg-udheg diperkirakan usia sekitar 190 tahun. Yang terjadi kemungkinan manusia hanya bisa rebahan. Sudah tidak mampu duduk, berdiri, apalagi berjalan.
- Petarangan amoh. Petarangan adalah kendang, amoh adalah rusak. Manusia tidak mungkin bertempat di kandang yang rusak. Kendang rusak tidak akan dilihat/ditengok. Dalam hal ini diartikan sudah tidak bisa mengidentifikasi urutan silsilah dengan benar dan dianggap silsilah sudah habis atau putus.
Ritual Semoyo dilakukan dengan menyiapkan buah kelapa yang bertunas, jenang lemu (bubur nasi), kelor, dan pitung tawar. Kelapa yang bertunas diletakkan antara kakek dan nenek. Jika salah satu di antara mereka meninggal, maka yang dilakukan adalah memangku kelapa itu dengan memberi alas menggunakan pakaian almarhum/ah yang sudah tidak terpakai, tidak disukai, tetapi masih disimpan. Tunas kelapa akan terus tumbuh ke atas, tidak memiliki cabang, hal ini sebagai simbol satu tujuan yakni kembali kepada Sang Kholik. Semakin senja usia diharap semakin mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Sejak awal diciptakan Adam dan Hawa hingga akhir dunia musnahnya umat manusia, semua kembali ke Sang Pencipta.
Buah kelapa diolesi jenang lemu dengan maksud agar panjang umur, disirami sayur kelor dengan tujuan dijauhkan dari segala macam penyakit. Daun kelor disebut sebagai The Magic Tree karena super banyaknya kandungan vitamin. Memiliki kadar Vitamin C enam kali lebih banyak daripada jeruk, Vitamin A empat kali lebih banyak daripada wortel, dan Kalium tujuh kali lebih banyak daripada pisang, serta masih banyak kandungan lainnya.
Agar dijauhkan dan dilindungi dari kekuatan magis jahat, pitung tawar (tumbukan beras, diberi dringu dan kunyit) diberikan. Selain dioleskan pada buah kelapa, pitung tawar juga dipercikkan di lutut serta telapak kaki. Setelah dalang memberikan contoh, anak keturunannya sampai akhir menirukan. Sebelum lanjut ke rangkaian acara berikut, kakek dan nenek membersihkan diri dahulu.
Silsilah keluarga dimulai dari bersatunya suami-istri, mendapatkan anak lalu cucu serta keturunannya. Hal ini disimbolkan dengan satu tandan pisang emas. Letak buah pisang dalam satu tandan dimulai dari atas hingga paling bawah, diibaratkan silsilah dalam keluarga. Dimulai dari satu pohon lalu berbuah begitu banyak. Diawali dari suami-istri memiliki keturunan sampai mereka jadi petarangan amoh.
Pisang emas satu tandan akan diperebutkan oleh para cucu. Menurut Pak Sanawi, ini mengisyaratkan kegiatan musyawarah dalam satu keluarga. Memang ada argumen antar anggota keluarga. Mereka saling menunjukkan argumen masing-masing dan menunjukkan mereka paling benar.
Ritual dilanjutkan dengan mengajak cucu-cucu berkeliling kampung (puter kayun). Jaman dulu, puter kayun dilakukan dengan mengendarai dokar atau delman. Seiring perkembangan alat transportasi, sekarang masyarakat memilih menggunakan mobil. Selain mudah mengendarainya, muatan yang dibawa bisa lebih banyak daripada dokar atau delman.
Selama puter kayun, kakek dan nenek bercerita apa saja yang mereka temui dan yang ditanyakan cucunya. Tidak hanya menyebutkan tempat apa, nenek dan kakek juga bercerita sejarah kehidupannya kepada sang cucu. Jika cucu merasa lapar atau haus, dengan senang hati kakek dan nenek membelikan makanan dan minuman.
Jika kondisi tidak memungkinkan untuk puter kayun, missal karena kakek dan nenek sudah tidak mampu berjalan atau duduk terlalu lama, acara boleh diganti dengan sembur utik. Maknanya sama dengan puter kayun yaitu menyenangkan cucu-cucu dengan memberikan uang. Bedanya, tidak ada momen bercerita tentang kehidupan lampau kakek dan nenek.
Setelah puter kayun, acara dilanjutkan makan bersama tumpeng pethetheng. Dinamakan pethetheng karena sudah merasa entheng atau ringan setelah melaksanakan serangkaian ritual. Segala beban yang dirasakan selama belum menepati janji sudah disingkirkan.
Makan bersama di sini juga masih dalam satu rangkaian ritual. Satu silsilah keluarga akan menghabiskan satu masakan yang sudah disiapkan. Misal, anak pertama dari kakek dan nenek diwajibkan membuat tumpeng dengan pithik babon hang wes ngerem (ayam betina yang sudah menetaskan telurnya). Diharap, anak pertama akan mampu mengayomi adik-adiknya. Maka, menu tersebut dimakan oleh anak pertama dan keturunannya. Sedangkan anak berikutnya membuat tumpeng pethetheng. Yang dimasak ayam remaja. Anak keturunannya wajib menghabiskan makanan yang disiapkan keluarga inti masing-masing.
Setelah makan, saatnya ngelarung (menghanyutkan). Yang dihanyutkan ke sungai antara lain pakaian yang dijadikan sebagai alas buah kelapa bertunas, jenang lemu, jangan kelor, serta sisa-sisa tumpeng pethetheng. Larung dimulai dari daun tempat nasi tumpeng sampai tulang belulang ayamnya. Setelah ngelarung, buah kelapa bertunas ditanam sebagai tanda lunasnya janji-janji kepada cucu mereka.
Mengapa ritual Semoyo Putu kini jarang dilakukan?
Karena ritual ini membutuhkan banyak modal untuk beli berbagai bahan yang diperlukan. Di masa pandemi, dengan perekonomian masyarakat yang masih meprihatinkan, orang akan berpikir berulang kali untuk menyelenggarakan ritual seperti ini. Selain itu, masyarakat merasa direpotkan karena harus menyempatkan diri di tengah kesibukan kegiatan ekonomi. Panjangnya ritual semoyo putu dianggap sangat menghabiskan atau menyia-nyiakan waktu.
Dengan menuliskan kegiatan tradisi ini, saya berharap dapat mengingatkan masyarakat akan pentingnya nguri-uri (melestarikan) budaya yang kita miliki. Tidak tertutup kemungkinan tradisi ini akan hilang dari peredaran, dan anak-cucu kita tidak pernah mengenal tradisi dan budayanya sendiri. Jangan sampai masyarakat lebih mengutamakan modernisasi daripada kebudayaan yang sudah menjadi warisan untuk kita lestarikan.
Bangunlah Budayaku! Semerbaklah Banyuwangiku! Dan Jayalah Pertiwiku!
- Penulis adalah pendidik di SD Negeri 2 Lemahbangdewo, Rogojampi, Banyuwangi