Oleh: Daniel Mohammad Rosyid @RosyidCollegeOfArts
mepnews.id – Jam menunjukkan 19.40 ketika kami turun dari KA Sancaka Fakultatif di stasiun Tugu, Yogyakarta. Seperti biasa, kereta api yang menjadi kendaraan pilihan kami itu berangkat dan tiba tepat waktu seperti tertera di tiket. Jangan-jangan hanya angkutan publik ini yang pelayanannya bertahan tepat waktu sejak sebelum pandemi.
Kami bergegas menuju lokasi taksi parkir di stasiun itu. Setelah memasukkan koper ke bagasi minibus warna biru muda itu, kami bergerak ke Jogokaryan.
Sang sopir, pria paruh baya, menyapa ramah kami dan tak pernah melewatkan waktu tanpa berbincang apa saja dengan kami. Dari logatnya, saya tahu orang ini dudu wong Jowo. Ternyata memang orang Sunda.
Stasiun dan jalanan ramai sekali pada Sabtu malam Minggu. Tampaknya pandemi sudah berlalu walau orang-orang lalu lalang masih bermasker.
Sang sopir mengujar, dia terpaksa memakai masker sekadar memenuhi instruksi perusahaan. Sejak pandemi dua tahun silam, dia makin heran mengapa orang malas berpikir lagi. Baginya, manajemen pandemi ini sudah merusak akal sehat masyarakat.
Kerusakan ekonomi, walau sangat parah, mungkin tidak separah kerusakan sosial dan budaya masyarakat. Social distancing memporakporandakan sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat. Modal sosial kita tergerus besar-besaran.
Menurutmya, peran medsos selama pandemi tidak bisa diabaikan. Keterbelahan masyarakat sejak Pilgub DKI dan Pilpres 2019 makin parah, seperti pernah dianalisis oleh Ichsanudin Noorsyi. Algoritma Google yang memonopoli mesin pencari ikut mengeraskan keterbelahan itu. Peran buzzers bayaran memperparah mutual distrust di masyarakat.
Kondisi ini bukan khas Indonesia. Di Amerika Serikat pun terjadi. Bahkan, skenario civil war sudah menjadi wacana publik Amerika saat ini.
Sebagai alumni kampus isolasi COVID-19 selama 25 hari, saya menyadari virus Corona ini ada dan bisa mematikan bagi penderita dengan komorbid. Namun, seperti virus flu lainnya, COVID mungkin sedikit lebih berbahaya. Orang yang sehat, apalagi masih muda, tidak perlu terlalu khawatir tertular.
Maka, pendekatan pencegahan penularan yang berlebihan seperti ditempuh pemerintah saat ini, hemat saya, tidak tepat dan mulai tidak masuk akal. Biaya sosial ekonomi dan budayanya terlalu besar bagi bangsa yang sedang mengalami bonus demografi.
Menurut taxi driver kami ini, banyak kematian terkait COVID-19 disebabkan salah penanganan dan isolasi pasien terduga COVID-19. Pasien dengan komorbid tidak memperoleh perawatan untuk komorbidnya. Lalu, banyak Orang Tanpa Gejala (OTG) bergentayangan di mana-mana menebar ketakutan penularan. Banyak orang mati tidak memperoleh perlakuan dan penghormatan yang layak. Hubungan antar tetangga rusak, begitu juga hubungan antar-saudara serta keluarga.
Bagi pengendara taksi ini, hampir semua protokol COVID, terutama isolasi warga yang sakit, adalah kedunguan yang membawa kepedihan. Mestinya, masker bisa dilepas jika tubuh sehat tanpa gejala dan hasil tes negatif.
Baginya, istilah OTG yang dulu pernah sangat populer sungguh istilah yang merusak masyarakat. Bahkan, setelah dua kali vaksinasi, ancaman gelombang varian baru COVID-19 tak kunjung berhenti.
Kewarasan inilah yang dituntut masyarakat Inggris. Mereka berhasil memaksa PM Boris Johnson untuk membatalkan semua protokol kesehatan termasuk vaksinasi paksa bagi warga Inggris.
Ketakutan massal membuat program vaksinasi massal paksa menjadi sesuatu yang hampir niscaya. Yang tidak mau divaksin -sebagian malah pernah dirumahsakitkan akibat COVID- dituduh egois tidak peduli pada orang lain.
Keputusan pemerintah untuk menerima public health emergency of international concern telah membenarkan semua pembatasan sipil, protokol COVID dan vaksinasi paksa, yang sebenarnya melanggar hak-hak dasar dan kesehatan warga. Kini, bahkan untuk masuk sekolah, anak-anak usia belia harus divaksin paksa.
Di Yogya ini saya belajar dari taxi driver Sunda. Kota ini, setahu saya, adalah kota pelajar. Mestinya penduduknya cerdas dan terpelajar. Komunitas kesehatan mestinya sudah cukup meneliti dari database kasus COVID-19 ini, lalu belajar bagaimana tatakelola COVIF-19 yang masuk akal. Jangan sampai kedaulatan dan bonus demografi kita dirampas oleh industri vaksin asing.
Subuh pagi ini di masjid Jogokaryan, shaf jamaah subuh berbaris rapat. Imam dan takmirnya masih bermasker. Semoga pandemi dua tahun ini tidak mengubah Yogya menjadi kota dungu.
Jogokaryan, 23/01/2022