Oleh: Indarti
mepnews.id – Di ruang kelas, guru menyapa satu-persatu muridnya.
“Aldo apa cita-citamu?”
Jawab Aldo, “Jadi dokter, Bu.”
“Bagus,” kata guru itu, seraya berpindah ke murid lainnya, “Tiara, apa cita-citamu?”
Sahut Tiara, “Jadi guru, Bu. Kayak Ibu…”
Guru itu bangga sambil tersenyum manis. “Bagus. Terima kasih, Tiara.”
Menunjuk ke Teo, guru itu beritanya, “Kalau kamu, apa cita-citamu?”
“Jadi teroris, Bu.”
Guru kaget. Sambil memelototkan matanya dan dengan suara keras, ia bereaksi, “Haaah? Bagaimana bisa kamu kepengin jadi teroris?”
Setelah reda kagetnya, Bu Guru bertanya lagi dengan lembut, “Mengapa kamu kepengin jadi teroris, Teo? Tahukah kamu apa itu teroris?”
Dengan bangga Teo menjawab sambil menggerakkan tangannya seperti memegang senapan. “Tahu, Bu. Deretettetetet… Dor!… Dor!”
Teo kemudian berkata lagi yang membuat guru terhenyak. “Saya mau jadi teroris, karena saya sudah kadung (terlanjur) nakal, Bu.”
Kemudian guru bertanya lagi, “Teo, siapa yang mengatakan itu semua?”
“Ya kata orang-orang, Bu. Mereka bilang saya ini anak nakal.”
Anak-anak adalah seperti kertas putih yang belum diberikan coretan apa pun. Orang-orang dewasa lah yang mewarnai kertas putih itu menjadi indah, menyedihkan, atau hampa tak bermakna.
Saat anak pertama kali mendapat julukan nakal, sebenarnya otaknya menolak. Saat kedua, ketiga, dan selanjutnya, mungkin otaknya masih menolak.
Namun, ketika kata nakal itu diulang terus-menerus, maka lama-kelamaan otaknya akan berpikir, apakah memang aku nakal, ya? Pada akhirnya ia kemudian menyimpulkan ia memang anak nakal.
Jika kata nakal sudah terlanjur ditanamkan dalam ke benak anak itu, maka menghapusnya adalah sulit.
Terus, bagaimana cara mengatasinya?
Kita tidak perlu hapus kata nakalnya. Belokkan saja. Katakan, misalnya “Ada lho anak nakal jadi tentara hebat.” Atau, “Ibu pernah tahu ada anak waktu kecilnya nakal, eh besarnya jadi pengusaha.” Atau, “Eh, tahu nggak? Bapak Fulan itu waktu kecil nakalnya minta ampun. Begitu besar dia jadi jendral, lho.”
Sebuah kalimat berawal “nakal” namun berujung positif. Andai anak-anak semacam Two di atas dipanggil nakal lagi, imaginasinya banyak (positif) Dan tidak ke hanya teroris.
* Penulis adalah guru di SD Islamiyah Magetan dan pegiat literasi.