Oleh: Dian Nazilah Rahmawati
MEPNews.id – Bawean merupakan pulau kecil di wilayah pemerintahan Kabupaten Gresik. Bawean mempunyai suku dan budaya sendiri yang dinamakan Suku Bawean. Kehidupan masyarakatnya dapat dikatakan makmur karena meskipun sederhana mereka tetap bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal itu erat kaitannya dengan sumber daya alam yang mencukupi di pulau kecil ini.
Bawean memiliki tanah subur dan perairannya lancar. Tanah subur sangat mendukung kegiatan di bidang pertanian. Sumber air bersih bisa dikatakan lebih dari cukup dan mengalir lancar. Karena dikelilingi lautan, sumber daya alam yang dari laut bisa diambil kapan saja.
Dari kondisi itu, penduduk Bawean meski tidak menempuh pendidikan tinggi atau bekerja mapan sudah dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari asal mempunyai keterampilan bertani atau nelayan.
Pulau Bawean kerap disebut Pulau Putri. Itu karena adanya budaya merantau atau migrasi pada masyarakat Bawean. Pria dewasa banyak yang meninggalkan istrinya dalam waktu cukup lama untuk merantau ke negeri tetangga mencari nafkah. Maka, mayoritas penghuni Bawean wanita.
Ada falsafah yang dipegang teguh anak muda Bawean. “Ajhek nyengkap tape, mon ghitak mare ngoker langek. Ajhek ngoker langek mon tak cokop sango lahir dan batin.” Artinya: jangan menikah sebelum mengukir langit (maksudnya, merantau). Kemudian, jangan merantau kalau belum cukup bekal dan lahir dan batin.”
Kondisi kekayaan alam melimpah ini bertolak belakang dengan budaya migrasi. Orang memilih bermigrasi padahal kekayaan alam di Bawean bisa dimanfaatkan dengan cukup.
Mayoritas orang Bawean merantau ke Malaysia atau Singapura bekerja sebagai pekerja kasar yang tidak terlalu butuh pengetahuan dan keterampilan khusus. Mereka jadi kuli bangunan, tukang, buruh cuci, buruh perkebunan kelapa sawit, buruh pabrik, pembantu rumah tangga, dan lain-lain.
Merantau kemudian menjadi tumpuan utama dan strategi bertahan hidup yang paling penting bagi masyarakat Bawean. Bahkan, orang Bawean bermigrasi dalam jangka waktu cukup lama.
Ternyata, hal itu berkaitan dengan kebutuhan harga diri dan perasaaan ingin dihargai. Pengakuan dari orang lain sebagai tolak ukur kesuksesan seseorang ketika merantau dapat dilihat dari nilai materil yang dimiliki.
Selain itu, merantau merupakan aktualisasi diri bagi masyarakat Bawean karena adanya proses transfer belajar. Ketika merantau, mereka mempelajari keterampilan dan teknologi di negeri jiran. Lalu, mereka menerapkan hasil belajar tersebut di Pulau Bawean ketika pulang.
Contoh, tukang bangunan yang sudah mempunyai pengalaman di Malaysia ketika pulang dianggap lebih terampil daripada tukang di Bawean yang tidak mempunyai pengalaman bekerja di Malaysia.
Trasfer belajar yang dilakukan masyarakat Bawean ketika bermigrasi ini dengan tujuan mengelola sumber daya alam di Bawean. Tapi, ternyata dampaknya sangat kecil. Pekerjaan yang banyak diminati di perantauan berhubungan dengan konstruksi bangunan. Sedangkan, sumber daya alam melimpah di Bawean lebih berhubungan dengan pertanian dan perikanan.
Budaya metantau mempunyai dampak positif dan negatif. Salah satu dampak negatif dari migrasi pada masyarakat Bawean yaitu perkembangan anak. Merantau yang dilakukan orang Bawean mayoritas dilakukan penduduk laki-laki dengan meninggalkan istri dan anak di kampung.
Ada juga suami dan istri meninggalkan anak yang dititipkan ke pihak ketiga (nenek, kakek, paman atau kerabat lain). Dengan meninggalkan pengasuhan anak kepada orang ketiga, maka akan ada dampak psikologis atau psikososial kepada anak tersebut di masa remaja.
Anak menjadi tidak disiplin dan tidak percaya diri. Itu bukan berarti pola asuh orang ketiga selalu buruk, tetapi karena kasih sayang serta perhatian orangtua kepada anak tidak diberikan secara langsung dan tidak intim. Perhatian itu hanya diungkapkan dengan pemenuhan fasilitas dan kebutuhan anak.
Karakteristik umum remaja di Bawean yaitu mempunyai keinginan merantau atau keluar dari pulau untuk mencari ilmu maupun mencari nafkah. Hal itu didasari Bawean merupakan pulau kecil yang memiliki keterbatasan salah satunya dalam pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri.
Penulis adalah guru di SMPN 7 Gresik di Bawean, dan salah satu peserta edukasi literasi dalam rangkaian bakti sosial Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga.