Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id – Mungkin bukan kebetulan jika tokoh besar negeri ini, almarhum Profesor Doktor Nurcholish Madjid, yang telah meninggal dunia 15 tahun yang lalu, tepatnya 29 Agustus 2005, sangat akrab dipanggil Cak Nur. Dengan nama panggilan egaliter itu, kita bisa bergurau “menghina” kepada setiap pemilik gelar akademis: “Ayo, Profesor Doktor mana yang hari ini bersedia, bangga dan tidak malu dipanggil Cak, seperti Cak Nur. Hari ini juga telah banyak kita jumpai fenomena hanya dengan berbekal bisa ngaji ala kadarnya saja, sudah tak malu lagi dipanggil Gus. Bahkan merekayasa sedemikian rupa agar khalayak ramai-ramai memanggilnya Gus…”
Saya kurang begitu “hafal” di luar kepala mengenai rekam jejak Cak Nurcholish Madjid ini. Yang saya tahu beliau kelahiran Jombang, dan yang lain-lainnya baca-baca browsing di internet mengenai Cak Nur; tentang kiprahnya, pemikirannya, buku-bukunya, Yayasan Paramadina, organisasi HMI dan KAHMI, gentleman agreement (komitmen bersama Emha Ainun Nadjib untuk tidak mengambil posisi kekuasaan pasca presiden Soeharto lengser) saat Reformasi 98, dan seterusnya.
Saya menulis ini spontan saja. Setelah tahu melalui media sosial ada yang share, saya cari juga di Wikipedia bahwa hari ini Cak Nur telah pergi meninggalkan kita sudah 15 tahun yang lalu. Mungkin hal ini tidak penting-penting amat untuk diingat dan dikenang. Akan tetapi ada baiknya sebentar saja kita menaruh hormat bahwa kita pernah memiliki tokoh intelektual besar bernama Nurcholish Madjid.
Salah satu buku Cak Nur yang saya punya yaitu kumpulan Ceramah Cak Nur setelah shalat Jumat. Saya fotokopi buku tersebut dari seorang teman jaman saya masih kuliah. Dulu, bisa fotokopi buku saja, apalagi sampai bisa beli bukunya yang asli, adalah kebanggaan yang luar biasa tiada tara. Entah sekarang; apakah para mahasiswa masih suka beli buku dan rajin membaca? Apakah tradisi membaca masih terus dipacu dan digalakkan? Atau mungkin browsing?
Semakin kita dewasa, semakin enggan seseorang menasehati kita secara transparan. Meskipun nyatanya kita bodoh, akhlak ketimuran kita tak mungkin bilang: “Kamu ini bodoh! Kurang membaca!” Sehingga tradisi membaca merupakan nasihat bagi kita sendiri agar semakin berkembang dan meningkatkan kepribadian kita.
Tentunya ada ragam bentuk membaca. Dari membaca teks hingga membaca seluruh hamparan alam semesta. Saya pribadi selalu kagum kepada mereka yang telah mampu tidak hanya sekedar membaca teks, melainkan juga membaca gerak zaman secara jernih dan murni.
“Ibu yang sedang menyunggi makanan dikepalanya itu, bukan sekedar menyunggi makanan yang akan dijualnya. Tapi bacalah bahwa yang ia sunggi adalah martabat dan kehormatan,” kata sang pembaca zaman yang kemudian dijadikan teks dalam penulisan skenario film.
Sebagai manusia biasa, tentunya Cak Nur punya salah dan khilaf. Semoga Allah mengampuninya. Juga semoga seluruh kebaikannya diterima Allah SWT. Allah yang lebih tahu segalanya.
Mengenang almarhum Cak Nurcholish Madjid hari ini, setidaknya merupakan sebuah nasihat bagi kita semua, bahwa siapa pun kita, kelak akan kembali menghadap Ilahi.
(Banyuwangi, 29 Agustus 2019)